Selasa, 25 Juni 2013

tugas sosiologi 2



Nelayan di Jepara Masih Perlu Perhatian


A.        Pendahuluan
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera. Sehubungan dengan itu, komunitas nelayan bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.
Kenyataan di atas, sesuai dengan hasil observasi awal yang  terlihat, dimana pada pagi hari dapat ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke laut guna menangkap ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut hasil tangkapannya dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk memasarkan langsung. Kondisi ini menujukkan bahwa, ada satu struktur atau sistem yang membuat sekian banyak nelayan menjadi terpinggirkan secara ekonomi.
Disamping itu, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Misalnya, ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini, tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.

B.        Kasus
Kesulitan Hidup
Desa Panggung dan Surodadi kecamatan Kedung Kabupaten Jepara merupakan dua desa nelayan di kabupaten Jepara yang warga desanya mengandalkan hidupnya dari laut. Oleh karena itu bila kita singgah sejenak di desa yang terletak di Pantai Utara Jawa ini kita akan menjumpai ratusan perahu yang berjajar di sepanjang sungai yang membelah desa dan juga di tambatkan di sepanjang pantai yang berpasir putih. Bila kondisi laut tidak ombak dan laut sedang ramai tangkapan maka dapat dipastikan semua perahu akan terjun kelaut mencari ikan, adapun perahu yang ada biasanya dalam perbaikan atau rusak sama sekali. Namun jika kondisi ombak besar atau laut sepi tangkapan maka para nelayanpun tidak turun kelaut, jika dipaksakan melaut maka hasilnya akan merugi apalagi jika ombak besar perahu bisa karam karenanya.

http://1.bp.blogspot.com/_THSkkfK-J7k/SzRuM3znJ9I/AAAAAAAAALw/hrD1P6ZZI6U/s400/DSC00658.JPG
Basori yang mengaku semenjak lulus SD terjun menjadi nelayan mengatakan, Jika musim penghujan Nelayan banyak nganggurnya, oleh karena itu waktunya dapat dipergunakan untuk memperbaiki peralatan nelayan. Misalnya memperbaiki perahu dengan menambal pada tempat yang bocor kemudian mengecatnya agar lebih awet, mesin yang kurang sehat juga diperbaiki, alat tangkap yang bolong-bolong juga diperbaiki agar rapat. Biaya untuk perbaikan semuanya itu bila ada tabungan menggunakan uang simpanan atau menjual apa saja yang ada, bila tidak biasanya ngutang tetangga nanti jika laut kembali ramai hutang itu dibayarnya. Biaya untuk perbaikan tersebut tidak kurang dari 1 juta rupiah dan dalam satu tahun minimal dilakukan 2 kali, hal ini dilakukan agar perahu dan alat tangkapnya awet dipergunakan.

Kesulitan Dalam Masyarakat
Ketika ditanya berapa modal yang diperlukan untuk terjun menjadi nelayan, beberapa nelayan yang ditemui mengatakan, jika semuanya baru biaya yang dikeluarkan hampir 40 Juta rupiah yaitu untuk membeli perahu, Mesin dan alat tangkapnya. Satu perahu ini biasanya dijalankan oleh 5 – 6 nelayan dengan menggunakan alat tangkap dogol dan ikan yang didapatkan yaitu teri. Jika setengah baru nelayan membutuhkan modal setidaknya 15 – 20 juta rupiah dengan kondisi banyak membutuhkan peralatan. Karena besarnya biaya yang dikeluarkan tersebut, rata-rata kondisi rumah nelayan banyak yang sederhana sekali karena penghasilan mereka tersedot untuk operasional melaut. Jika kondisi laut ramai semua biaya operasional itu bisa tercukupi, jika kondisi laut sepi atau tidak melaut sama sekali maka kebutuhan sehari-hari biasanya ngutang pada warung dan bayarnya nanti jika melaut kembali.
Selain masalah tingginya biaya operasional melaut, masalah lain yang muncul adalah tidak berfungsinya TPI ( Tempat pelelangan Ikan ) yang ada, sehingga jika nelayan menjual hasil tangkapan hanya pada pengepul-pengepul yang ada. Celakanya pengepul yang ada modalnya sangat kecil sehingga setelah transaksi uang tidak dibayar secara langsung namun baru dibayarkan sehari atau dua hari setelah dagangan si pengepul itu laku. Harganyapun kadang-kadang merugikan para nelayan, yaitu dibeli dengan harga murah padahal jika dijual diluar desa harganya akan jadi berlipat, jika nelayan mencoba untuk menjual keluar maka para pengepul itupun memblokirnya. Oleh karena itu mereka mengharapkan campur tangan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut diatas, misalnya dengan menghidupkan kembali Tempat Pelelangan Ikan yang ada agar harga ikan kembali bersaing dengan baik. Selain itu ada upaya pembinaan Pemerintah pada para pengepul dengan cara pemberian pinjaman modal lunak agar dipergunakan untuk pembelian ikan nelayan dengan kontan.
Desa Panggung dan Surodadi ini merupakan cermin dari jutaan nelayan yang ada di Indonesia, oleh karenanya mereka itu masih sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari Pemerintah khususnya bidang Kelautan. Apalagi negara kita lautnya sangat luas jika hal ini dapat diberdayakan dengan baik maka laut akan memberikan kontribusi yang banyak terhadap kemajuan Negara ini. Salah satunya adalah Nelayan yang saat ini masih terpinggirkan , saat ini yang masih diperhatikan adalah sector keuangan dan industry yang nyatanya tidak tahan akan badai krisis selama ini.

Penjelasan Sosiologis
A.        Konsep Sosiologi Kemiskinan
ak bisa dipungkiri, bahwa citra nelayan utamanya nelayan kecil/tradisional masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Winahyu dan Santiasih dalam Kusnadi, 2002  mempertegas bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Kemiskinan yang dialami oleh komunitas nelayan, sesungguhnya juga tak lepas dari pengaruh atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari sadar atau pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan pasrah terhadap nasib telah menjadi bagian dari mentalitas, sehingga secara psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Akibat dari sikap hidup di atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari seorang nelayan tidak menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat tingkat pendapatan dari nelayan rendah, maka sangat logis bila tingkat pendidikan anak-anaknya pun rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni kebutuhan pangan untuk dapat bertahan hidup.

B.        Analisis Eksklusi Sosial
Nelayan adalah suatu komunitas yang mana mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, baik di laut, selat, teluk, danau maupun sungai dengan menggunakan perahu atau kapal dan berburu atau menggunakan perangkap. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai (Mulyadi, 2005 ).
 Mereka umumnya tinggal atau menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas yang disebut dengan komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang begitu gigih dan akrab dengan kehidupan di laut yang sifatnya keras. Pengetahuan tradisionalnya tentang ekologi kelautan, merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sifatnya turun temurun. Para nelayan ini sangat percaya betapa pun kuatnya tantangan itu, laut tetap menawarkan berbagai kemungkinan serta memberikan peluang dalam mencari nafkah untuk memperolehnya dan mereka berjuang dengan penuh keyakinan, keuletan dan ketabahan serta penggunaan teknologi yang sederhana.
Menurut Gordon (Satria, 2002 dalam Deden, 2011) bahwa nelayan adalah orang yang melakukan penangkap ikan baik di perairan laut atau pun di perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat tangkap ikan. Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkap ikan di laut. Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan semakin beragam statusnya.
Secara sosiologis, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau divission of labour. Satria (2002) dalam Deden (2011) mengatakan bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain, sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang alatnya dioperasikan oleh orang lain. adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.
Direktoral Jenderal Perikanan (2002), mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut juga sebagai nelayan meskipun tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada pembudidayaan, orang yang disebut sebagai petani adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.

C.        Solusi
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri (Laila, 2009).









Daftar Pustaka
Tribun news. 2013. Nelayan di Jepara Masih Perlu Perhatian. Pontianak: tribun.






tugas sosiologi



Warga Miskin Jateng Tinggal Berdesakan dengan Kambing

A.        Pendahuluan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan adanya berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan diri si miskin. Berbagai kekurangan dan ketidakberdayaan tersebut disebabkan baik faktor internal maupun eksternal yang membelenggu, seperti adanya keterbatasan untuk memelihara dirinya sendiri, tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya untuk memenuhi kebutuhan dll. Dengan begitu, segala aktivitas yang mereka lakukan untuk meningkatkan hidupnya sangat sulit. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Di Indonesia kemiskinan sudah terjadi sejak jaman dahulu dimana pemerintah di indonesia tidak dapat menekan angka kemiskinan dari tahun ke tahun bahkan kemiskinan sudah menjadi pekerjaan yang serius untuk pemerintah kita. Banyak cara yang telah dilakukan oleh pemerintah, tapi untuk menekan atau bahkan mengurangi angka kemiskinan sangatlah sulit. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, ternyata tidak sedikit penduduk yang tergolong miskin. Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari gabungan penduduk di perkotaan dan di perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Pembangunan-pembangunan yang dilakukan seringkali merugikan masyarakat miskin yang ada di daerah. Salah satunya adalah yang dialami oleh pasangan sumi istri dengan nama Mbah Gio dan Mbah Bati yang tinggal di sebuah Desa Tunggu Penawangan Grobogan Jawa Tengah,. Mbah Gio dan Mbah Bati merupakan salah satu korban kemiskinan yang sangat sulit dihilangkan dari muka bangsa ini.
Makalah ini dibuat untuk melihat bagaimana ekslusi sosial terjadi pada masyarakat miskin, khususnya pasangan sumi istri dengan nama Mbah Gio dan Mbah Bati sebagai salah satu anggota dari mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat miskin.


B.        Kasus
Kesulitan Hidup
Sepasang suami-istri warga miskin di Jawa Tengah tinggal berdesak-desakan dengan kambing di rumah sederhana seluas tujuh meter persegi.
Tinggal di sebuah Desa Tunggu Penawangan Grobogan Jawa Tengah, pasangan sumi istri dengan nama Mbah Gio Mbah Bati. Pada pernikahan pertama Mbah Bati dikarunia dua anak, perempuan dan laki-laki, sedangkan pernikahan ke dua dengan Mbag Gio di karunia tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan.
Dengan umur yang sangat tua renta mereka harus bertahan hidup dengan penuh kekurangan, untuk makan sehari-hari dapat beras raskin kadang juga ada tetangga ada yang memberi uang dan uang tersebut harus di irit-irit.
Luas rumah Mbah Gio dan Mbah Bati kurang lebih 7 meter persegi. Beratap genteng, berlantaikan tanah berdinding kayu pada bolong dan tidak memiliki kamar mandi. Saat musim hujan rumah pada basah.
Tidak punya kasur, Mbah Bati hanya punya radio jadul, dengan aliran listrik dari keponakannya 5 watt, dan hanya dihidupkan malam sampai subuh.

Selain Mbah Bati dn Mbah Gio, di rumah tinggal juga putri dari pernikahan keduanya yang mengalami ganggun mental. Mereka bersempit-sempitan dengan ternak kambing dan ayam yang tinggal di dalam rumah. Kalau Mbah Bati masih ada sekat jadi tidak tidur berdampingan dengan kambing, tapi kalau Mbh Gio berdekatan.
Aktivitas keseharianya, Mbah Gio biasnya cuma duduk di rumah kadang juga ngobrol sama tetangga karena suda tua. untuk Mbah Bati fisiknya membungkuk kalo pagi gembala kambing sampe sore baru pulang ke rumah.

Kesulitan Dalam Masyarakat
Kemiskinan memang adalah pekerjaan besar bagi pemerintah kita, tapi pekerjaan itu tidak pernah di prioritaskan untuk mengurangi angka kemiskinan, berbagi cara telah di lakukan tapi malah tidak dapat mengurus permasalahan ini.
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja dan sebagainya.
            Seperti yang dialami oleh Mbah Bati dn Mbah Gio, mereka berdua sangat kesulitan untuk menjalani kehidupan ini. Mereka sudah sangat tua dan sama sekali tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Umur yang sudah semakin renta membuat mereka sangat kesulitan untuk bekerja selain itu anak dan keluarga mereka juga berada pada garis kemiskinan.
            Ironi sekaligus sangat mengharukan sekali. Indonesia sudah hampir berusia 68 tahun merdeka, namun kenyataannya rakyat Indonesia sama sekali tidak merdeka dari kemiskinan yang ada malahan semakin lama semakin melarat dan menderita.

Penjelasan Sosiologis
A.        Konsep Sosiologi Kemiskinan
Masalah kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan,dan ekonomi (konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung memengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek, 1985).
Indikator kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Keterbatasan kecukupan dan mutu pangan dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita, dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004); Kasus mengenai gizi buruk meningkat cukup signifikan, pada tahun 2005 tercatat 1,8 juta jiwa anak balita penderita gizi buruk, dan pada bulan Oktober 2006 sudah tercatat 2,3 juta jiwa anak yang menderita gizi buruk.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi, jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di Puskesmas. Demikian juga persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, pada penduduk miskin hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
Keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan ditunjukkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Keterbatasan kesempatan kerja dan berusaha juga ditunjukkan lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan akses layanan perumahan dan sanitasi ditunjukkan dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering dalam memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
Keterbatasan akses terhadap air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air. Dalam hal lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian. Dilihat dari lemahnya jaminan rasa aman, data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.
Lemahnya partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Dilihat dari besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi, menurut data BPS, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak miskin. Rumah tangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumah tangga miskin di pedesaan adalah 4,8 orang.
Apa yang terjadi pada keluarga Mbah Gio dan Mbah Bati menunjukkan bahwa kemiskinan masih belum dapat diselesaikan dengan metode atau cara yang sudah ditempuh selama ini. Seperti asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (BPS, 2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
B.        Analisis Eksklusi Sosial
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural.
Somerville yang melihat ada dua makna eksklusi sosial. Yang pertama berkaitan dengan terputus atau tereksklusi dari pasar tenaga kerja di negara-negara kapitalis maju. Ketika menjalani proses restrukturisasi ekonomi di negara-negara kapitalis maju mengakibatkan sebagian populasi kehilangan pekerjaan untuk jangka waktu lama. Makna kedua, berbeda dengan yang sebelumnya, berkaitan dengan penolakan atau penyangkalan status sosial kewarganegaraan kelompok tertentu. Argumen umumnya terfokus pada proses stigmatisasi dan pembatasan atau penindasan melalui peraturan dan penegakan hukum, dan bentuk-bentuk diskriminasi institusi.
Sedangkan menurut Pierson, ada lima kekuatan yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial yaitu (1) kemiskinan dan penghasilan rendah; (2) tidak ada akses ke pasar kerja; (3) lemahnya atau tidak ada dukungan sosial dan jaringan sosial; (4) efek dari kawasan dan lingkungan sekitar; (5) terputus dari layanan. Kelima komponen mengeksklusi individu atau kelompok orang.
Jika melihat dari teori yang disampaikan oleh Somerville maka Mbah Gio dan Mbah Bati merupakan korban dari argumen yang kedua, yaitu ketika Mbah Gio dan Mbah Bati terstigmatisasi dan pembatasan atau penindasan melalui peraturan dan penegakan hukum dan bentuk-bentuk diskriminasi institusi.
Sedangkan jika menurut Pierson maka kasus Mbah Gio dan Mbah Bati ini termasuk kompleks. Karena Mbah Gio dan Mbah Bati merupakan anggota masyarakat dengan penghasilan sangat rendah yang tidak dapat mengakses pasar kerja, selain itu lemahnya atau tidak adanya dukungan sosial dari pemerintah semakin memperburuk kondisi kemiskinan.
C.        Solusi
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Untuk mencapai sasaran penurunan angka kemiskinan KPK menetapkan strategi pemberdayaan masyarakat melalui 2 (dua) cara yaitu pertama, mengurangi beban pengeluaran konsumsi kelompok miskin dan kedua, meningkatkan produktivitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pengembangan dan pemberdayaan usaha masyarakat terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang meliputi penajaman program, pendanaan, dan pendampingan. Pendampingan yang dimaksud di sini adalah program penyiapan, pemihakan dan perlindungan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya masyarakat dan kelembagaannya sebagai pemanfaat program agar pendanaan yang disalurkan dapat terserap dan termanfaatkan dengan baik. Dan memperbanyak jumlah koperasi simpan pinjam di daerah yang berperan sebagai saran yang dapat digunakan masyarakt yang dapat membantu permodalah usaha –usaha masyarakat. Selain itu , koperasi juga dapat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari masyarakat dengan harga yang murah dan juga dapat menjadi tempat investasi bagi masyarakat yang mau menanamkan modal di koperasi tersebut.


Daftar Pustaka
Soekanto Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Penerbit: rajawali Pers Jakarta 2007.
Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka.
Sumber Lain