Selasa, 25 Juni 2013

tugas sosiologi 2



Nelayan di Jepara Masih Perlu Perhatian


A.        Pendahuluan
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera. Sehubungan dengan itu, komunitas nelayan bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.
Kenyataan di atas, sesuai dengan hasil observasi awal yang  terlihat, dimana pada pagi hari dapat ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke laut guna menangkap ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut hasil tangkapannya dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk memasarkan langsung. Kondisi ini menujukkan bahwa, ada satu struktur atau sistem yang membuat sekian banyak nelayan menjadi terpinggirkan secara ekonomi.
Disamping itu, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Misalnya, ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini, tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.

B.        Kasus
Kesulitan Hidup
Desa Panggung dan Surodadi kecamatan Kedung Kabupaten Jepara merupakan dua desa nelayan di kabupaten Jepara yang warga desanya mengandalkan hidupnya dari laut. Oleh karena itu bila kita singgah sejenak di desa yang terletak di Pantai Utara Jawa ini kita akan menjumpai ratusan perahu yang berjajar di sepanjang sungai yang membelah desa dan juga di tambatkan di sepanjang pantai yang berpasir putih. Bila kondisi laut tidak ombak dan laut sedang ramai tangkapan maka dapat dipastikan semua perahu akan terjun kelaut mencari ikan, adapun perahu yang ada biasanya dalam perbaikan atau rusak sama sekali. Namun jika kondisi ombak besar atau laut sepi tangkapan maka para nelayanpun tidak turun kelaut, jika dipaksakan melaut maka hasilnya akan merugi apalagi jika ombak besar perahu bisa karam karenanya.

http://1.bp.blogspot.com/_THSkkfK-J7k/SzRuM3znJ9I/AAAAAAAAALw/hrD1P6ZZI6U/s400/DSC00658.JPG
Basori yang mengaku semenjak lulus SD terjun menjadi nelayan mengatakan, Jika musim penghujan Nelayan banyak nganggurnya, oleh karena itu waktunya dapat dipergunakan untuk memperbaiki peralatan nelayan. Misalnya memperbaiki perahu dengan menambal pada tempat yang bocor kemudian mengecatnya agar lebih awet, mesin yang kurang sehat juga diperbaiki, alat tangkap yang bolong-bolong juga diperbaiki agar rapat. Biaya untuk perbaikan semuanya itu bila ada tabungan menggunakan uang simpanan atau menjual apa saja yang ada, bila tidak biasanya ngutang tetangga nanti jika laut kembali ramai hutang itu dibayarnya. Biaya untuk perbaikan tersebut tidak kurang dari 1 juta rupiah dan dalam satu tahun minimal dilakukan 2 kali, hal ini dilakukan agar perahu dan alat tangkapnya awet dipergunakan.

Kesulitan Dalam Masyarakat
Ketika ditanya berapa modal yang diperlukan untuk terjun menjadi nelayan, beberapa nelayan yang ditemui mengatakan, jika semuanya baru biaya yang dikeluarkan hampir 40 Juta rupiah yaitu untuk membeli perahu, Mesin dan alat tangkapnya. Satu perahu ini biasanya dijalankan oleh 5 – 6 nelayan dengan menggunakan alat tangkap dogol dan ikan yang didapatkan yaitu teri. Jika setengah baru nelayan membutuhkan modal setidaknya 15 – 20 juta rupiah dengan kondisi banyak membutuhkan peralatan. Karena besarnya biaya yang dikeluarkan tersebut, rata-rata kondisi rumah nelayan banyak yang sederhana sekali karena penghasilan mereka tersedot untuk operasional melaut. Jika kondisi laut ramai semua biaya operasional itu bisa tercukupi, jika kondisi laut sepi atau tidak melaut sama sekali maka kebutuhan sehari-hari biasanya ngutang pada warung dan bayarnya nanti jika melaut kembali.
Selain masalah tingginya biaya operasional melaut, masalah lain yang muncul adalah tidak berfungsinya TPI ( Tempat pelelangan Ikan ) yang ada, sehingga jika nelayan menjual hasil tangkapan hanya pada pengepul-pengepul yang ada. Celakanya pengepul yang ada modalnya sangat kecil sehingga setelah transaksi uang tidak dibayar secara langsung namun baru dibayarkan sehari atau dua hari setelah dagangan si pengepul itu laku. Harganyapun kadang-kadang merugikan para nelayan, yaitu dibeli dengan harga murah padahal jika dijual diluar desa harganya akan jadi berlipat, jika nelayan mencoba untuk menjual keluar maka para pengepul itupun memblokirnya. Oleh karena itu mereka mengharapkan campur tangan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut diatas, misalnya dengan menghidupkan kembali Tempat Pelelangan Ikan yang ada agar harga ikan kembali bersaing dengan baik. Selain itu ada upaya pembinaan Pemerintah pada para pengepul dengan cara pemberian pinjaman modal lunak agar dipergunakan untuk pembelian ikan nelayan dengan kontan.
Desa Panggung dan Surodadi ini merupakan cermin dari jutaan nelayan yang ada di Indonesia, oleh karenanya mereka itu masih sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari Pemerintah khususnya bidang Kelautan. Apalagi negara kita lautnya sangat luas jika hal ini dapat diberdayakan dengan baik maka laut akan memberikan kontribusi yang banyak terhadap kemajuan Negara ini. Salah satunya adalah Nelayan yang saat ini masih terpinggirkan , saat ini yang masih diperhatikan adalah sector keuangan dan industry yang nyatanya tidak tahan akan badai krisis selama ini.

Penjelasan Sosiologis
A.        Konsep Sosiologi Kemiskinan
ak bisa dipungkiri, bahwa citra nelayan utamanya nelayan kecil/tradisional masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Winahyu dan Santiasih dalam Kusnadi, 2002  mempertegas bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Kemiskinan yang dialami oleh komunitas nelayan, sesungguhnya juga tak lepas dari pengaruh atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari sadar atau pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan pasrah terhadap nasib telah menjadi bagian dari mentalitas, sehingga secara psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Akibat dari sikap hidup di atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari seorang nelayan tidak menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat tingkat pendapatan dari nelayan rendah, maka sangat logis bila tingkat pendidikan anak-anaknya pun rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni kebutuhan pangan untuk dapat bertahan hidup.

B.        Analisis Eksklusi Sosial
Nelayan adalah suatu komunitas yang mana mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, baik di laut, selat, teluk, danau maupun sungai dengan menggunakan perahu atau kapal dan berburu atau menggunakan perangkap. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai (Mulyadi, 2005 ).
 Mereka umumnya tinggal atau menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas yang disebut dengan komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang begitu gigih dan akrab dengan kehidupan di laut yang sifatnya keras. Pengetahuan tradisionalnya tentang ekologi kelautan, merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sifatnya turun temurun. Para nelayan ini sangat percaya betapa pun kuatnya tantangan itu, laut tetap menawarkan berbagai kemungkinan serta memberikan peluang dalam mencari nafkah untuk memperolehnya dan mereka berjuang dengan penuh keyakinan, keuletan dan ketabahan serta penggunaan teknologi yang sederhana.
Menurut Gordon (Satria, 2002 dalam Deden, 2011) bahwa nelayan adalah orang yang melakukan penangkap ikan baik di perairan laut atau pun di perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat tangkap ikan. Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkap ikan di laut. Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan semakin beragam statusnya.
Secara sosiologis, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau divission of labour. Satria (2002) dalam Deden (2011) mengatakan bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain, sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang alatnya dioperasikan oleh orang lain. adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.
Direktoral Jenderal Perikanan (2002), mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut juga sebagai nelayan meskipun tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada pembudidayaan, orang yang disebut sebagai petani adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.

C.        Solusi
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri (Laila, 2009).









Daftar Pustaka
Tribun news. 2013. Nelayan di Jepara Masih Perlu Perhatian. Pontianak: tribun.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar