Nelayan di
Jepara Masih Perlu Perhatian
A. Pendahuluan
Secara umum,
kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar
masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha,
kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya
hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin
lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak
pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah
pesisir.
Melimpahnya
potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan
bermukim, seharusnya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat
dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya
sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan
secara finansial dan belum sejahtera. Sehubungan dengan itu, komunitas nelayan
bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas
bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang
kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan
tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.
Kenyataan
di atas, sesuai dengan hasil observasi awal yang terlihat, dimana pada
pagi hari dapat ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke
laut guna menangkap ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut
hasil tangkapannya dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk
memasarkan langsung. Kondisi ini menujukkan bahwa, ada satu struktur atau
sistem yang membuat sekian banyak nelayan menjadi terpinggirkan secara ekonomi.
Disamping
itu, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal.
Misalnya, ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka,
dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini,
tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana
dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah
atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat
meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian
halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat
membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional
menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang
berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan
lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik
modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar
bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi
tradisional.
B. Kasus
Kesulitan Hidup
Desa Panggung dan
Surodadi kecamatan Kedung Kabupaten Jepara merupakan dua desa nelayan di
kabupaten Jepara yang warga desanya mengandalkan hidupnya dari laut. Oleh
karena itu bila kita singgah sejenak di desa yang terletak di Pantai Utara Jawa
ini kita akan menjumpai ratusan perahu yang berjajar di sepanjang sungai yang
membelah desa dan juga di tambatkan di sepanjang pantai yang berpasir putih.
Bila kondisi laut tidak ombak dan laut sedang ramai tangkapan maka dapat
dipastikan semua perahu akan terjun kelaut mencari ikan, adapun perahu yang ada
biasanya dalam perbaikan atau rusak sama sekali. Namun jika kondisi ombak besar
atau laut sepi tangkapan maka para nelayanpun tidak turun kelaut, jika
dipaksakan melaut maka hasilnya akan merugi apalagi jika ombak besar perahu
bisa karam karenanya.


Basori yang mengaku
semenjak lulus SD terjun menjadi nelayan mengatakan, Jika musim penghujan
Nelayan banyak nganggurnya, oleh karena itu waktunya dapat dipergunakan untuk
memperbaiki peralatan nelayan. Misalnya memperbaiki perahu dengan menambal pada
tempat yang bocor kemudian mengecatnya agar lebih awet, mesin yang kurang sehat
juga diperbaiki, alat tangkap yang bolong-bolong juga diperbaiki agar rapat.
Biaya untuk perbaikan semuanya itu bila ada tabungan menggunakan uang simpanan
atau menjual apa saja yang ada, bila tidak biasanya ngutang tetangga nanti jika
laut kembali ramai hutang itu dibayarnya. Biaya untuk perbaikan tersebut tidak
kurang dari 1 juta rupiah dan dalam satu tahun minimal dilakukan 2 kali, hal
ini dilakukan agar perahu dan alat tangkapnya awet dipergunakan.
Kesulitan Dalam
Masyarakat
Ketika ditanya berapa
modal yang diperlukan untuk terjun menjadi nelayan, beberapa nelayan yang
ditemui mengatakan, jika semuanya baru biaya yang dikeluarkan hampir 40 Juta rupiah
yaitu untuk membeli perahu, Mesin dan alat tangkapnya. Satu perahu ini biasanya
dijalankan oleh 5 – 6 nelayan dengan menggunakan alat tangkap dogol dan ikan
yang didapatkan yaitu teri. Jika setengah baru nelayan membutuhkan modal
setidaknya 15 – 20 juta rupiah dengan kondisi banyak membutuhkan peralatan.
Karena besarnya biaya yang dikeluarkan tersebut, rata-rata kondisi rumah
nelayan banyak yang sederhana sekali karena penghasilan mereka tersedot untuk
operasional melaut. Jika kondisi laut ramai semua biaya operasional itu bisa
tercukupi, jika kondisi laut sepi atau tidak melaut sama sekali maka kebutuhan
sehari-hari biasanya ngutang pada warung dan bayarnya nanti jika melaut
kembali.
Selain masalah
tingginya biaya operasional melaut, masalah lain yang muncul adalah tidak
berfungsinya TPI ( Tempat pelelangan Ikan ) yang ada, sehingga jika nelayan
menjual hasil tangkapan hanya pada pengepul-pengepul yang ada. Celakanya
pengepul yang ada modalnya sangat kecil sehingga setelah transaksi uang tidak
dibayar secara langsung namun baru dibayarkan sehari atau dua hari setelah
dagangan si pengepul itu laku. Harganyapun kadang-kadang merugikan para nelayan,
yaitu dibeli dengan harga murah padahal jika dijual diluar desa harganya akan
jadi berlipat, jika nelayan mencoba untuk menjual keluar maka para pengepul
itupun memblokirnya. Oleh karena itu mereka mengharapkan campur tangan
pemerintah untuk mengatasi hal tersebut diatas, misalnya dengan menghidupkan
kembali Tempat Pelelangan Ikan yang ada agar harga ikan kembali bersaing dengan
baik. Selain itu ada upaya pembinaan Pemerintah pada para pengepul dengan cara
pemberian pinjaman modal lunak agar dipergunakan untuk pembelian ikan nelayan
dengan kontan.
Desa Panggung dan
Surodadi ini merupakan cermin dari jutaan nelayan yang ada di Indonesia, oleh
karenanya mereka itu masih sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari
Pemerintah khususnya bidang Kelautan. Apalagi negara kita lautnya sangat luas
jika hal ini dapat diberdayakan dengan baik maka laut akan memberikan
kontribusi yang banyak terhadap kemajuan Negara ini. Salah satunya adalah
Nelayan yang saat ini masih terpinggirkan , saat ini yang masih diperhatikan
adalah sector keuangan dan industry yang nyatanya tidak tahan akan badai krisis
selama ini.
Penjelasan Sosiologis
A. Konsep Sosiologi Kemiskinan
ak
bisa dipungkiri, bahwa citra nelayan utamanya nelayan kecil/tradisional masih
sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat
termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Winahyu dan Santiasih dalam
Kusnadi, 2002 mempertegas bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian
sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional,
dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Kemiskinan
yang dialami oleh komunitas nelayan, sesungguhnya juga tak lepas dari pengaruh
atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari sadar atau
pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan pasrah
terhadap nasib telah menjadi bagian dari mentalitas, sehingga secara
psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak
memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.
Akibat
dari sikap hidup di atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari
seorang nelayan tidak menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat
tingkat pendapatan dari nelayan rendah, maka sangat logis bila tingkat
pendidikan anak-anaknya pun rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus
berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke
tingkat yang lebih tinggi. Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang
tua dalam mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni
kebutuhan pangan untuk dapat bertahan hidup.
B. Analisis Eksklusi Sosial
Nelayan
adalah suatu komunitas yang mana mata pencaharian utamanya adalah menangkap
ikan, baik di laut, selat, teluk, danau maupun sungai dengan menggunakan perahu
atau kapal dan berburu atau menggunakan perangkap. Nelayan
adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada
hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka
pada umumnya tinggal di pinggir pantai (Mulyadi, 2005 ).
Mereka
umumnya tinggal atau menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu
komunitas yang disebut dengan komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang
begitu gigih dan akrab dengan kehidupan di laut yang sifatnya keras.
Pengetahuan tradisionalnya tentang ekologi kelautan, merupakan bagian dari
kehidupan mereka yang sifatnya turun temurun. Para nelayan ini sangat percaya
betapa pun kuatnya tantangan itu, laut tetap menawarkan berbagai kemungkinan
serta memberikan peluang dalam mencari nafkah untuk memperolehnya dan mereka berjuang
dengan penuh keyakinan, keuletan dan ketabahan serta penggunaan teknologi yang
sederhana.
Menurut
Gordon (Satria, 2002 dalam Deden, 2011) bahwa nelayan
adalah orang yang melakukan penangkap ikan baik di perairan laut atau pun di
perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat tangkap ikan. Nelayan sering
didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkap ikan di laut.
Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Ketika perikanan
sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan
semakin beragam statusnya.
Secara
sosiologis, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi
sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau divission of labour.
Satria (2002) dalam Deden (2011) mengatakan bahwa nelayan dapat
kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau
juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu,
jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan
buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain,
sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang alatnya dioperasikan oleh orang
lain. adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap
sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual
jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.
Direktoral
Jenderal Perikanan (2002), mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara
aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/
tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau
mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dikategorikan
sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas
kapal penangkap disebut juga sebagai nelayan meskipun tidak secara langsung
melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada pembudidayaan,
orang yang disebut sebagai petani adalah orang yang melakukan pekerjaan
pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.
C. Solusi
Bank Dunia memperhitungkan bahwa
108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi
miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut
hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan
Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia,
mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang
(15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan
ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari
perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan
memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi
bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar,
kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan.
Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah
pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang
buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal
harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada
keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir
sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut.
Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang
miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin
pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi
tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering
terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan
penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari
pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan
tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir
tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri
(Laila, 2009).
Daftar Pustaka
Tribun news.
2013. Nelayan
di Jepara Masih Perlu Perhatian. Pontianak: tribun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar